09 Oktober 2009

ICAL JADI KETUA hu huy..

Golkar di Bawah Aburizal
Jum'at, 09 Oktober 2009 01:10 WIB
Akhirnya Aburizal Bakrie terpilih sebagai Ketua Umum Partai Golkar. Dari 536 suara, Aburizal merebut 296 suara, sedangkan Surya Paloh meraih 240 suara. Meski suara keduanya susul-menyusul saat penghitungan, sesungguhnya tak ada kejutan dari hasil ini. Sama tidak mengejutkannya ketika kita melihat bahwa Tommy Soeharto dan Yuddy Chrisnandi, dua kandidat lain, tak mendapat satu pun suara dukungan.
Kemenangan Aburizal ini juga menunjukkan bahwa Golkar masih mewarisi kultur lamanya. Inilah kultur partai yang tak mau jauh dari kekuasaan, kuatnya peran uang dalam pemilihan pemimpin, dan minimnya kader dari luar mainstream.
Kultur untuk tidak menjauh dari kekuasaan bahkan sudah ditegaskan Aburizal tak lama setelah menang. Ia mengisyaratkan bahwa Golkar akan menyambut baik tawaran posisi menteri di kabinet baru Yudhoyono nanti. Aburizal juga menyebut Golkar akan menjadi “mitra kritis” bagi pemerintah. Jelaslah ini sebuah kosakata paradoksal. Bagaimana mungkin mitra alias kawan seiring bisa mengambil sikap yang benar-benar kritis?
Memang, dari sejarah pembentukannya, sulit berharap Golkar menjadi partai yang berjarak dari penguasa. Roh Golkar adalah roh yang lahir dari kepentingan penguasa. Terbentuknya partai berlambang beringin ini hingga kemudian menjadi partai besar pada masa Orde Baru merupakan kreasi langsung dari kekuasaan Soeharto.
Relasi partai dengan kekuasaan seperti itu membawa dua keuntungan sekaligus bagi Golkar. Pertama, Golkar selalu mendapat prioritas dan perlindungan. Kedua, Golkar memiliki cukup sumber daya untuk mengembangkan dirinya. Itu sebabnya, Golkar hingga sekarang sebetulnya masih memiliki jaringan mesin politik dengan jangkauan melebihi partai-partai lain.
Sayangnya, semua investasi kekuatan di masa Soeharto itu tak bisa dimanfaatkan ketika patron politik Golkar runtuh. Golkar masih cukup menjanjikan ketika Akbar Tanjung memimpin di periode transisi pasca-Soeharto. Di bawah Akbar, Golkar masih bisa meraih sisa-sisa kebesarannya dengan memenangi Pemilu 2004.
Tapi, pada periode setelah itu, Golkar tenggelam. Mesin politik mereka lumpuh. Target menang 60 persen pemilihan kepala daerah hanya terpenuhi separuhnya. Dalam pemilihan legislatif, meski menempati urutan kedua, posisinya jauh di bawah Demokrat. Dan dalam pemilihan presiden pun mereka kalah telak.
Aburizal berjanji akan mengembalikan kejayaan Golkar masa lalu. Tapi janji ini sulit dipenuhi bila ia lebih mementingkan kedekatannya dengan pemerintahan ketimbang membangun kembali infrastruktur partai dan menciptakan kader-kader yang kuat. Tiadanya dukungan terhadap kader alternatif, seperti Yuddy Chrisnandi, dalam Munas tempo hari adalah sinyal jelas bahwa Golkar, partai tertua di negeri ini, tak berhasil menciptakan kader pemimpin alternatif.
Itulah yang akan jadi tugas berat Aburizal jika ia memang serius dengan niatnya membangun Golkar. Tanpa keseriusan, Golkar akan tetap menjadi partainya penguasa (>the ruler's party), bukannya partai yang berkuasa (the ruling party).
asli copy paste dari Tempointeraktif.com loh...

Tidak ada komentar: